Asro Pun' Blog

Archive for the ‘Contract’ Category

Gross Negligence & Willful Misconduct

Posted by asro on 5 December 2014

Dalam sebuah contract/agreement, para pihak biasanya berusaha untuk membatasi tanggung jawab (liability) mereka terhadap pihak lainya. Para pihak selalu mengeluarkan dari batasan tanggung jawab tersebut kerusakan yang disebabkan oleh gross negligence (kelalaian yang disengaja atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai kelalaian nyata atau kelalaian berat) atau willful misconduct (tindakan pelanggaran yang disengaja atau diterjemahkan sebagai perbuatan tercela yang disengaja atau perbuatan kecerobohan).

Pertanyaannya adalah apa definisi dari gross negligence dan willful misconduct itu? Sebenarnya tidak ada definisi yang pasti untuk keduanya, bergantung pada definisi yang dibuat dalam setiap contract atau apabila tidak didefinisikan dalam contract maka bergantung pada hukum mana yang dipakai. Sebagai gambaran, berikut akan diberikan salah satu contoh.

Gross negligence is a conscious and voluntary disregard of the need to use reasonable care, which is likely to cause foreseeable grave injury or harm to persons, property, or both. It is conduct is extreme when compared with ordinary negligence, which is a mere failure to exercise reasonable care. Ordinary negligence and gross negligence differ in degree of inattention, while both differ from willful and wanton conduct, which is conduct that is reasonably considered to cause injury. This distinction is important, since contributory negligence – a lack of care by the plaintiff that combines with the defendant’s conduct to cause the plaintiff’s injury and completely bar his or her action – is not a defense to willful and wanton conduct but is a defense to gross negligence. In addition, a finding of willful and wanton misconduct usually supports a recovery of punitive damage – monetary compensation awarded to an injured party that goes beyond that which is necessary to compensation the individual for losses and that is intended to punish the wrongdoer, whereas gross negligence  does not. [legal-dictionary]

Pada contoh di atas, gross negligence diartikan sebagai “dengan sengaja (dalam hal ini dengan sadar dan sukarela) mengabaikan (atau tidak melakukan) tindakan yang semestinya dilakukan, yang (jika tidak dilakukan) kemungkinan besar akan menyebabkan cedera serius atau membahayakan orang, harta atau keduanya“. Sedangkan willful misconduct (istilah lain dari willful misconduct adalah willful and wanton conduct seperti pada contoh di atas) diartikan sebagai “prilaku yang bisa menyebabkan cedera“. Dalam contoh di atas juga dijelaskan perbedaan antara gross negligence dan ordinary negligence, dimana jika gross negligence itu dengan sengaja mengabaikan tindakan yang mesti dilakukan, maka ordinary negligence adalah gagal melakukan tindakan yang mesti dilakukan, dalam hal ini tindakan tersebut sudah dilakukan tetapi gagal.

Berikut diberikan satu contoh pasal dalam contract yang membatasi tanggung jawab para pihak, kecuali gross negligence atau willful misconduct.

Unless a result of gross negligence or willful misconduct, the liability of either party to the other for any type of damage is limited to the amount of total fee under this agreement. [shakelaw.com].

 

Posted in Contract | Leave a Comment »

Termintation Clause

Posted by asro on 23 September 2014

Pada umumnya, hampir semua  kontrak mengandung pasal tentang pemutusan kontrak (termination clause) oleh salah satu pihak (umumnya owner) apabila  terjadi beberapa kondisi tertentu yang terkait dengan pelanggaran (breach) yang dilakukan oleh pihak lainnya (dalam hal ini contractor). Pemutusan kontrak berdasarkan pasal ini biasa disebut dengan termination for cause. Pasal pemutusan kontrak jenis ini juga berisi definisi jenis-jenis kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan oleh contractor sehingga owner dapat memutuskan kontrak, dan juga menguraikan tentang hak contractor untuk mengatasinya terlebih dahulu sebelum kontrak diterminasi.

Berikut contoh pasal termination for cause.

Termination for Cause: If the CONTRACTOR fails to fulfill its obligations under this Contract properly and on time, or otherwise violates any provision of the Contract, the Department may terminate the Contract. Prior to terminating this contract, the DEPARTMENT shall give the CONTRACTOR thirty (30) days prior  written notice of such default and if the CONTRACTOR has not cured such default within the thirty (30) day period, the DEPARTMENT may, by written notice, not less than five (5) days after expiration of this period, terminate the Contract. The notice shall specify the acts or omissions relied on as cause for termination. All finished or unfinished supplies and services provided by the CONTRACTOR shall, at the DEPARTMENT’s option, become the State’s property. The DEPARTMENT shall pay the CONTRACTOR fair and equitable compensation for satisfactory performance prior to receipt of notice of termination, less the amount of damages caused by the CONTRACTOR’s breach. If the damages are more than the compensation payable to the CONTRACTOR, the CONTRACTOR will remain liable after termination and the DEPARTMENT can affirmatively collect damages. Termination hereunder, including the determination of the right and obligations of the parties, shall be governed by the provisions of COMAR 21.07.01.11B. 1)

Selain termination for cause, kontrak pada umumnya juga mengandung sebuah pasal yang mengijinkan owner untuk memutuskan kontrak berdasarkan pertimbangan kemanfaatan/kenyamanannya sendiri, tanpa adanya kelalaian dari contractor. Pemutusan kontrak jenis ini disebut dengan termination for convenience.

Berikut contoh pasal termination for convenience.

Termination for Convenience: The performance of work under this Contract may be terminated by the DEPARTMENT in accordance with this clause in
whole, or from time to time in part, whenever the DEPARTMENT shall determine that such termination is in the best interest of the State. The DEPARTMENT will pay all reasonable costs associated with this Contract that the CONTRACTOR has incurred up to the date of termination and all reasonable costs associated with termination of the Contract; provided, however, that the CONTRACTOR shall not be reimbursed for any anticipatory profits which have not been earned up to the date of termination. Termination hereunder, including the determination of the rights and obligations of the parties, shall be governed by the provisions of COMAR 21.07.01.12A(2). 2)

Atau

 “Owner may at any time and for any reason terminate Contractor’s services and work at Owner’s convenience. Upon receipt of such notice, Contractor shall, unless the notice directs otherwise, immediately discontinue the work and placing of orders for materials, facilities and supplies in connection with the performance of this Agreement.

Upon such termination, Contractor shall be entitled to payment only as follows: (1) the actual cost of the work completed in conformity with this Agreement; plus, (2) such other costs actually incurred by Contractor as are permitted by the prime contract and approved by Owner; (3) plus ten percent (10%) of the cost of the work referred to in subparagraph (1) above for overhead and profit. There shall be deducted from such sums as provided in this subparagraph the amount of any payments made to Contractor prior to the date of the termination of this Agreement. Contractor shall not be entitled to any claim or claim of lien against Owner for any additional compensation or damages in the event of such termination and payment.”3)

Posted in Contract | Leave a Comment »

Survival Clauses

Posted by asro on 20 October 2013

Kadang-kadang dalam sebuah kontrak (atau perjanjian) kita jumpai pasal yang menyatakan bahwa beberapa pasal dalam kontrak tersebut tetap berlaku  (baik dalam periode tertentu maupun selamanya) walaupun kontrak tersebut sudah berakhir. Pasal seperti ini dikenal dengan sebutan pasal survival (survival clause).

Survival clause digunakan untuk menjelaskan  pasal (atau pasal-pasal) dalam sebuah kontrak yang tetap berlaku (atau tetap valid) sesudah berakhirnya kontrak tersebut. Sebuah survival clause diperlukan apabila  para pihak (atau minimal salah satu dari mereka) menghendaki  ada pasal-pasal dalam kontrak  tetap berlaku sesudah kontrak tersebut berakhir atau terminasi; 1).

Berikut adalah pasal-pasal yang umumnya survive walaupun kontrak sudah berakhir, 1) , 2):

  • Confidentiality.
  • Data protection.
  • Limitation and exclusions of liability.
  • Indemnity.
  • Insurance.
  • Applicable law and jurisdiction
  • Payment  (terkait dengan pembayaran terhadap pekerjaan atau material yang sudah dilaksanakan atau dipasok sebelum terminasi kontrak).
  • Serta pasal-pasal lainnya yang menetapkan apa-apa yang terjadi setelah terminasi kontrak.

Namun demikian barangkali tidak semua pasal-pasal tersebut  relevan dengan kontrak yang dibuat. Untuk itu sebelum dimasukan dalam daftar pasal yang survive, perlu dicek satu persatu masing-masing pasal tersebut untuk meyakinkan bahwa pasal-pasal yang dipilih tersebut memang betul-betul diperlukan untuk survive.2)

Berikut diberikan beberapa contoh survival clauses:

As a condition to his employment pursuant to this agreement, executive shall sign the confidentiality agreement. Executive hereby represents and warrants to the company that he will comply with all obligations under the confidentiality agreement and further agrees that the provisions of the confidentiality agreement shall survive any termination of this agreement or of executive’s employment or subsequent service relationship with the company, if any. 3).

 The obligations set forth in the provisions of Article 8 (Confidentiality), Article 9 (Applicable law) and Article 10 (Arbitration) shall survive the expire or termination of this Agreement. (Diambil dari salah satu draft kontrak yang kami tangani).

Posted in Contract | Leave a Comment »

Counterparts Clauses

Posted by asro on 11 June 2013

Tidak jarang untuk suatu alasan tertentu dimana diperlukan proses penandatanganan kontrak yang cepat karena keadaan yang mendesak sementara para pihak yang berkontrak berada pada lokasi yang berjauhan (misalnya berlainan negara), mereka bersepakat untuk menandatangani kontrak pada lembar naskah/duplikat yang terpisah. Untuk mengikat kesepakatan ini,  diperlukan counterparts clause (pasal counterparts).

Counterparts clause berisi ketentuan bahwa para pihak tidak perlu menadatangani kontrak pada naskah yang sama sebagaimana yang biasa dilakukan, tetapi pada duplikat yang terpisah, dan tiap-tiap dari duplikat tersebut dinyatakan sebagai asli, tetapi semua duplikat tersebut secara bersama-sama merupakan kontrak yang satu dan sama.

Berikut adalah contoh-contoh counterparts clause yang diambil dari contractstandards.com .

This Agreement may be executed in counterparts, each of which shall be deemed to be an original but all of which taken together shall constitute one and the same agreement and shall become effective when one or more counterparts have been signed by each of the parties and delivered to the other party.

This Agreement may be executed in two or more counterparts, and by facsimile, all of which shall be considered one and the same agreement and shall become effective when one or more counterparts have been signed by each of the parties and delivered to the other party, it being understood that all parties need not sign the same counterpart.

This Agreement  may be executed in two or more counterparts, each of which together shall be deemed an original , but all of which together shall constitute one and the same instrument. In the event that any signature is delivered by facsimile transmission or by e-mail delivery of “.pdf” format data file, such signature shall create a valid and binding obligation of the party executing (or on whose behalf such signature is executed) with the same force and effect as if such facsimile or “.pdf” signature page were an original thereof.

This Agreement may be executed in any number of counterparts, each of which when so executed and delivered shall be an original hereof, and it shall not be necessary in making proof of this Agreement to produce or account for more than one counterpart hereof.

Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa counterparts clause paling kurang berisi hal-hal sbb:

  • Pernyataan bahwa kontrak dibuat dalam bentuk counterparts dalam beberapa duplikat dimana masing-masing duplikat dianggap asli, tetapi semuanya secara bersama-sama merupakan kontrak yang satu dan sama.
  • Pengaturan tentang kapan kontrak tersebut mulai berlaku efektif.

Berikut contoh lainnya yang diambil dari cleggssolicitors.com:

This Agreement may be executed in any number of counterparts, each of which when executed and delivered shall constitute an original of  this Agreement, but all the counterparts shall together constitute the same  agreement. No counterparts shall be effective until each party has executed at least one counterpart.

dan yang diambil dari lexology.com

This Agreement may be executed in any number of counterparts, each of which when executed and delivered shall constitute  a duplicate original, but all counterparts together shall constitute a single agreement.

Ada dua alasan utama mengapa counterparts clause ini digunakan. Pertama, untuk menegaskan bahwa tiap-tiap pihak tidak perlu menandatangani lembar yang sama agar kontrak tersebut berkekuatan mengikat. Alasan kedua adalah untuk menghindari masalah terkait keaslian dari kontrak yang ditandatangani oleh setiap pihak pada lembar duplikat yang berbeda.

Counterparts clause utamanya digunakan pada kondisi berikut:

  • Dalam transaksi besar yang melibatkan banyak pihak dimana tidak semua pihak secara fisik dapat hadir pada saat penandatanganan kontrak, sehingga tidak memungkinkan semua pihak memberikan tandatangannya secara bersama-sama dalam satu naskah kontrak.
  • Dalam transaksi tertentu seperti transaksi penjualan properti dimana para pihak saling bertukar lembar tandatangan (biasanya melalui kuasa hukumnya), dan satu pihak hanya menyimpan halaman tandatangan yang diterimanya dari pihak lainnya.
  • Dalam transaksi lainnya dimana keadaan tidak memungkinkan satu naskah kontrak ditandatangani oleh seluruh pihak pada tanggal penandatanganan.

Sebenarnya tidak adanya counterparts clause tidak dengan sendirinya membatalkan sebuah kontrak yang dibuat dalam bentuk counterparts yang terpisah. Akan tetapi sebuah counterparts clause dapat membantu  mencegah klaim dari suatu pihak kepada pihak lainnya dengan alasan bahwa kontrak tersebut tidak mengikat karena tidak ada naskah tunggal yang ditandatangani oleh seluruh pihak atau karena mereka tidak mengetahui bahwa mereka mengikatkan diri dalam kontrak dengan menandatangani suatu naskah kontrak yang tidak ditandatangani juga oleh pihak lainnya.

Pada kondisi tertentu, para pihak dalam kontrak membutuhkan lebih dari satu duplikat kontrak asli untuk berbagai keperluan, misalnya untuk keperluan perpajakan, kelengkapan dokumen sesuai peraturan perundangan atau keperluan administrasi lainnya. Pada kondisi seperti ini counterparts cluase sangat berguna untuk memastikan bahwa setiap duplikat kontrak tersebut adalah asli.

Tidak setiap kontrak harus dibuat secara counterparts. Berikut adalah beberapa kondisi dimana kontrak tidak perlu dibuat counterparts:

  • Seluruh pihak hadir pada saat penandatanganan dimana setiap pihak akan menandatangani naskah asli kontrak bersama-sama sebanyak yang diperlukan, misalnya dibuat dua atau tiga rangkap.
  • Naskah asli kontrak ditandatangani pada waktu yang berbeda oleh para pihak, dengan cara semua naskah asli dikirim ke setiap pihak untuk ditandatangani secara bergantian, dengan kontrak diberi tanggal dan berlaku efektif pada tanggal penandatanganan terakhir.
  • Hanya satu naskah kontrak asli yang dibuat, sedangkan untuk keperluan para pihak dibuat salinan yang dilegalisir.

Posted in Contract | Leave a Comment »

Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Kontrak

Posted by asro on 27 April 2012

Sehubungan dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang,  dimana konon  undang-undang tersebut mengharuskan penggunaan mata uang Rupiah di wilayah Republik Indonesia, maka banyak pertanyaan yang muncul terkait penggunaan mata uang asing dalam Kontrak/Perjanjian khususnya jika Kontrak/Perjanian tersebut dilaksanakan dengan mitra asing. Wajar jika muncul banyak pertanyaan karena  adanya kekwatiran akan pelanggaran terhadap undang-undang ini yang  konon ada sangsi hukumnya berupa sangsi  kurungan. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini disampaikan jawaban Hukum Online atas beberapa pertanyaan mengenai keharusan penggunaan mata uang Rupiah terkait adanya undang-undang tersebut.

Pertanyaan : Teman saya menyewa apartemen di Indonesia. Apartemen tersebut memiliki manajemen asing dan bertarif dollar. Sedangkan saat ini telah diberlakukan UU Mata Uang yang mewajibkan pembayaran dengan menggunakan Rupiah. Sewa sudah berjalan selama 2 tahun, dan selama 2 tahun ini teman saya membayar dengan dolar. Jangka waktu sewanya telah disepakati dalam perjanjian adalah 5 tahun. Bagaimana teman saya menyikapinya? Apakah teman saya tetap harus membayar sewa apartemen tersebut dengan Rupiah?

Jawaban : Dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”), pada dasarnya setiap transaksi pembayaran maupun transaksi keuangan apapun yang dilakukan di Wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 23 UU Mata Uang diatur bahwa:  1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.  Mengenai pertanyaan Anda, kita bisa merujuk pada penjelasan yang diberikan Wakil Ketua Komisi XI DPR RIAchsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” (14/7). Dalam kesempatan itu menurut Achsanul Kosasi jika perjanjian sewa-menyewa apartemen tersebut dibuat secara tertulis sebelum berlakunya UU Mata Uang (sebelum 28 Juni 2011), maka biaya sewa apartemen tersebut dapat dilanjutkan pelunasannya menggunakan mata uang asing (dalam hal ini dolar). Jadi, pembayaran atau penyelesaian kewajiban ini termasuk yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Mata Uang.  Namun, jika perjanjian sewa-menyewa apartemen itu dibuat setelah diberlakukannya UU Mata Uang ini, maka pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam perjanjian itu harus menggunakan mata uang Rupiah.   Selain mengatur kewajiban menggunakan Rupiah dalam transaksi di Indonesia, UU Mata Uang juga mengatur sanksi bagi orang yang melanggar kewajiban tersebut. Berikut ketentuan pidana menurut Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang;  “Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:  a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau  c. transaksi keuangan lainnya,  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Pertanyaan : Dengan berlakunya UU Mata Uang yang baru, di situ diwajibkan penggunaan Rupiah untuk segala transaksi keuangan yang terjadi di Indonesia. Bagaimana apabila saya sudah membuat perjanjian yang isinya memuat transaksi dengan menggunakan mata uang asing. Apakah perjanjian tersebut harus direvisi dan disesuaikan dengan tujuan UU tersebut? Apakah diatur dalam aturan peralihannya? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Jawaban : Mengutip ketentuan Pasal 23 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”)1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Mengamati ketentuan dalam pasal tersebut di atas, perjanjian yang telah dibuat secara tertulis sebelum diundangkannya UU Mata Uang dapat diselesaikan/diteruskan pemenuhan transaksinya dengan menggunakan mata uang asing sebagaimana telah diperjanjikan. Perlu digarisbawahi bahwa pengecualian ini hanya berlaku bagi perjanjian yang telah ada dan berjalan sebelum UU Mata Uang ini diundangkan. Sedangkan untuk perjanjian yang dibuat setelah berlakunya UU Mata Uang ini (setelah 28 Juni 2011), maka tidak ada larangan untuk menentukan jumlah transaksi menggunakan mata uang asing dalam perjanjian. Akan tetapi, pemenuhan transaksinya (pembayarannya) harus tetap dilakukan dengan menggunakan Rupiah sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” (14/7).   Seperti diketahui dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang diatur bahwa Rupiah wajib digunakan dalam: a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c) transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian menurut hemat kami perjanjian yang isinya memuat transaksi dengan menggunakan mata uang asing tidak perlu direvisi, asalkan nanti pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Rupiah. Dan UU Mata Uang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut dalam ketentuan peralihannya. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.

Pertanyaan : Selamat Siang Bung Pokrol. Saya ingin tanya terkait dengan UU Mata Uang yang baru. Apakah benar semua transaksi pembayaran sekarang diharuskan menggunakan mata uang Rupiah? Lalu bagaimana bila suatu PT yang memiliki penghasilan dalam bentuk valas, kemudian pemegang sahamnya ingin menjual ke pihak lain di Indonesia, apakah sahamnya harus dihargai dengan Rupiah?

Jawaban : Melihat pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPT bahwa nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah. Akan tetapi UUPT ini tidak mengatur apakah bila saham tersebut diperjualbelikan, transaksinya harus menggunakan Rupiah atau tidak.   Akan tetapi, sejak 28 Juni 2011 ada aturan yang secara umum mewajibkan semua transaksi yang dilakukan di Indonesia dan mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan transaksi keuangan lainnya untuk menggunakan Rupiah (lihat Pasal 21 ayat (1) UU No 7 Tahun 2011 tenatng Mata Uang – “UU Mata Uang”). Dengan demikian jika PT yang Anda sebutkan itu berada di Indonesia baik PT lokal maupun PT Penanaman Modal Asing (“PT PMA”), maka segala transaksi keuangannya harus menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang ini. Kecuali transaksi yang terjadi termasuk hal-hal yang dikecualikan di bawah ini, boleh menggunakan mata uang asing/valuta asing : a) transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran dan belanja negara; b) penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c) transaksi perdagangan internasional; d) simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau e) transaksi pembiayaan internasional. (lihat Pasal 21 ayat (2) UU Mata Uang).   Dengan demikian, terkait dengan transaksi jual beli saham yang Anda tanyakan, meskipun harga/nilai saham dicantumkan dalam dolar, transaksi jual belinya tetap harus dilakukan dengan menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang yang baru.   Sementara itu, menurut notaris Irma Devita Purnamasari dalam praktik PT PMA yang sebagian pemegang sahamnya asing, biasanya selain dalam Rupiah, nilai sahamnya juga ada ekuivalen dolarnya. Jadi, kalau ada transaksi penjualan saham asing dengan dolar, tetap ada ekuivalen Rupiahnya. Dengan demikian, misalnya dijual seharga USD 3 juta, maka kita harus cari ekuivalen Rupiahnya berapa, misalnya Rp. 25 miliar dengan nilai USd 1 = Rp. 8.623,-. Pihak asing terimanya tetap di Rp. 25 miliar. Karena di PT PMA memang harus ada ekuivalen antara dolar dan Rupiahnya. Sehubungan dengan kewajiban transaksi menggunakan Rupiah, maka jual-beli saham PT PMA juga harus dinyatakan dan diterima dalam Rupiah. Kemudian, setelah terjadi transaksi pihak yang menjual saham tersebut dapat mengkonversi uang hasil penjualan saham tersebut ke dolar.  Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Pertanyaan : Saya bekerja di Pelabuhan Indonesia yang juga memberi pelayanan terhadap kapal-kapal asing. Terhadap pelayanan jasa yang diberikan kami kenakan tarif dengan nilai dolar (USD). Setelah berlakunya UU No. 7 Tahun2011 tentang Mata Uang, apakah kami masih dapat mengenakan tarif USD terhadap kapal-kapal asing yang menggunakan jasa kami?  Apabila kami masih dapat membuat kontrak dengan perusahaan pelayaran asing tersebut dengan nilai transaksi dalam USD?

Jawab : Sejak berlakunya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) pada 28 Juni 2011, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, maka mata uang Rupiah wajib digunakan di Wilayah Republik Indonesia dalam : a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan atau c) transaksi keuangan lainnya, yaitu antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari Nasabah kepada Bank. Namun harus dipahami juga bahwa kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia tersebut dikecualikan oleh Pasal 21 ayat (2) UU Mata Uang, yaitu dalam hal : a) transaksi adalah transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); b) penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c) transaksi perdagangan internasional; d) simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau e) transaksi pembiayaan internasional. Mencermati syarat transaksi perdagangan internasional yang mengecualikan penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia, tentu menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan “perdagangan internasiona”? Dalam hal ini, sangat disayangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang hanya menyatakan “cukup jelas”. Mengenai arti dari “perdagangan internasional”, Sumantoro di dalam “Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan Internasional” (Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman RI, 1997/1998, hlm. 29) tegas mendefinisikan sebagai “the exchange of goods and services between nations”, sehingga jelas sudah bahwa perdagangan jasa (i.c. jasa-jasa pelabuhan yang diselenggarakan oleh Perusahaan Saudara) adalah suatu transaksi perdagangan internasional jika para pihaknya berbeda nasionalitasnya. Dan dalam hal ini pula, UU Mata Uang sama sekali tidak menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “perdagangan internasional” adalah hanya perdagangan barang internasional (international trade on goods).  Merujuk pada tidak terdapatnya pembatasan oleh UU Mata Uang dan pendapat Sumantoro di atas, maka demikian transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Pengusaha kapal berbendera asing (yang merupakan Perusahaan Asing) adalah merupakan perdagangan jasa yang bersifat intenasional (dikualifikasikan sebagai suatu “perdagangan internasional”), sehingga pembayaran harga pembelian jasanya dapat diperjanjikan dan dilaksanakan dalam mata uang selain Rupiah, baik dalam mata uang Dolar Amerika Serikat (United States Dollar) ataupun mata uang asing lainnya yang sah, sesuai Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang. Namun, apabila transaksi yang dilakukan adalah transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Perusahaan kapal berbendera Indonesia (yang merupakan Perusahaan Indonesia), maka perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya wajib menggunakan mata uang Rupiah sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a UU Mata Uang.  Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan yang bertanggung jawab dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta (videPasal 33 ayat (1) UU Mata Uang), maupun, Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp. 200 juta (vide Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang).  Berkaitan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Mata Uang, apabila perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya telah atau kemudian disepakati menggunakan mata uang Rupiah (termasuk dengan Pengusaha kapal berbendera asing),  maka Perusahaan Saudara wajib menerima pembayaran dalam mata uang Rupiah yang telah disepakati tersebut. Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara yang bertanggung jawab juga dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta (videPasal 33 ayat (2) UU Mata Uang), maupun, perusahaan Saudara dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp. 200 juta (videPasal 39 ayat (1) UU Mata Uang). Tapi, di dalam Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang diatur pengecualian terhadap kewajiban tersebut yaitu bahwa perusahaan Saudara berhak untuk menolak pembayaran dalam Rupiah dan tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 33 ayat (2)dan Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang, jika Perusahaan Saudara meragukan keaslian dari mata uang Rupiah tersebut.   Last but not least, dalam hal ini pula, tentu adalah baik dan berguna jika Perusahaan Saudara dapat menetapkan (atau menyepakati dengan para pengguna jasa) untuk digunakannya suatu perhitungan kurs tertentu (baku) bagi konversi antar-mata uang bagi keperluan pelaksanaan pembayaran dalam mata uang Rupiah (misalnya, Kurs Tengah BI yang ditetapkan Bank Indonesia, atau Kurs Tengah Pajak yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan RI).  Demikian jawaban ini Saya sampaikan. Semoga bermanfaat.

Dari jawaban-jawaban di atas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Apabila kontrak dibuat sebelum diberlakukannya UU Mata Uang (sebelum tanggal 28 Juni 2011), maka mata uang yang digunakan untuk  transaksi/pembayaran terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut tetap mengikuti apa yang sudah diatur dalam kontrak tersebut. Jadi apabila nilai kontrak menggunakan mata uang Rupiah maka transaksi pembayarannya menggunakan Rupiah, sedangkan apabila nilai kontrak menggunakan mata uang asing  maka transaksi pembayarannya menggunakan mata uang asing (Ref UU Mata Uang Pasal 23 ayat (2)).
  2. Apabila kontrak dibuat setelah tanggal 28 Juni 2011 dengan perusahaan dalam negeri, maka nilai kontraknya bisa Rupiah, bisa juga mata uang asing  (Refer pendapat Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” 14 Juli 2011, lihat juga  jawaban atas pertanyaan No 1 di atas), tetapi transaksi pembayarannya harus dalam Rupiah (Ref UU Mata Uang Pasal 21 ayat (1)).  
  3. Apabila kontrak dibuat setelah tanggal 28 Juni 2011 dengan perusahaan asing, maka nilai kontraknya bisa Rupiah, bisa juga mata uang asing dan pembayarannya juga bisa dengan menggunakan Rupiah atau mata uang asing (Ref UU Mata Uang Pasal 21 ayat (2) huruf c), karena kontrak ini masuk dalam kategori perdagangan internasional yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan mata uang Rupiah Pasal 21 ayat (1)).

Terlepas dari semua penjelasan ini, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof  Hikmahanto Juwana seperti yang ditulis dalam Hukum Online, mengacu pada UU Mata Uang Pasal 47, dapat diartikan bahwa peraturan ini (UU Mata Uang) belum berlaku, karena pasal itu mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana yang harus ada maksimal setahun setelah diundangkan, atau 28 Juni 2012 dan hingga saat ini peraturan pelaksananya belum ada.

Selain itu, menanggapi maraknya kekwatiran banyak pihak, pejabat di Direktorat Pengelolaan Kas Negara Direktorat Jendral Perbendaharaan seperti yang dikutip Hukum Online,  menegaskan  sikap resmi pemerintah terkait dengan UU Mata Uang adalah bahwa yang diatur dalam UU Mata Uang  adalah transaksi tunai (uang kartal). Penjelasan ini berarti bahwa penggunaan mata uang asing di kontrak tidak dilarang, tetapi saat transaksi pembayarannya secara tunai harus menggunakan Rupiah, apabila transaksi kontraknya antar mitra lokal/dalam negeri dan dilakukan di wilayah RI.

Posted in Contract | 1 Comment »

Acceleration Clause

Posted by asro on 5 April 2012

Kemarin baca-baca salah satu kontrak, ketemu istilah baru :  “acceleration clause” (maklum bukan orang hukum). Terpaksa berselancar dulu, ternyata  banyak  sekali yang menjelaskan tentang istilah ini, tiga diantaranya saya tulis di sini.

Yang pertama saya ambil dari investorwords.com.  Di situ dijelaskan bahwa Acceleration clause; A provision that allows a lender to demand payment of the total outstanding balance or demand addittional collateral under certain circumstances, such as failure to make payments, bankruptcy, nonpayment of taxes on mortgaged property, or the breaking of loan covenants.

Terjemahan bebasnya : Pasal akselerasi merupakan ketentuan dalam kontrak yang memungkinkan pemberi pinjaman menuntut pembayaran seluruh sisa utang atau menuntut tambahan jaminan, jika terjadi kondisi tertentu seperti gagal melakukan pembayaran, bangkrut, tidak melunasi utang/pajak pada penggadaian barang atau melanggar persyaratan pinjaman.

Yang kedua dari WikipediaAn acceleration clause, in the law of contracts, is a term that fully matures the performance due from a party upon a breach of the contract. Such clauses are most prevalent in mortgages and similar contracts to purchase real estate in installments. Suppose, for example, the contract wa for A to purchase Blackacre from B for $100,000, to be paid in 5 monthly installments of $20,000. If A makes the first two payments, but fails to make the third payment, an acceleration clause would require that A must immediately pay B the entire balance of $60.000, or lose his right to purchase Blackacre (without getting a refund of his $40.000). A sample acceleration clause reads like this: In the event of default in the payment of any of the said installments or said interest when due as herein provided, time being of the essence hereof, the holder of this note may, without notice or demand, declare the entire principal sum then unpaid immediately due and payable.

Terjemahan bebasnya: Dalam hukum kontrak, klausul akselerasi merupakan suatu istilah yang menggambarkan jatuh temponya seluruh pembayaran dari salah satu pihak karena terjadi pelanggaran kontrak. Klausul tersebut umumnya digunakan dalam kontrak penggadaian atau kontrak pembelian real estate dalam bentuk cicilan. Sebagai contoh, sebuah kontrak dimana A membeli sebidang tanah dari B seharga $100.000 yang akan dicicil setiap bulan selama 5 kali, dengan besar cicilan $20.000. Apabila A sudah membayar 2 cicilan pertama, tetapi gagal membayar cicilan ke-3, maka klausul ekselerasi akan mengharuskan A untuk membayar dengan segera seluruh sisa cicilan sebesar $60.000 kepada B atau jika tidak maka A akan kehilangan haknya atas sebidang tanah yang dibeli tersebut, tanpa mendapat pengembalian $40.000 yang sudah dibayar sebelumnya. Salah satu contoh klausul akselerasi: Dalam hal terjadi kelalaian dalam pembayaran terhadap salah satu angsuran atau bunga tersebut pada saat jatuh tempo sebagaimana dinyatakan dalam surat perjanjian ini, pemegang surat ini bisa, tanpa pemberitahuan atau permintaan, menyatakan bahwa  jumlah seluruh pokok yang belum dibayar dengan segera akan  jatuh tempo dan harus segera dibayarkan.

Yang ketiga dari Kamus Keuangan Online. Klausul akselerasi merupakan pasal dalam kontrak yang menyatakan bahwa penjual dapat menuntut pembayaran penuh dengan segera dari sisa yang belum dibayar jika pembeli gagal membayar angsuran yang masih terhutang.

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa klausul akselerasi adalah klausul dalam kontrak, umumnya kontrak penggadaian atau kontrak pinjam-meminjam atau kontrak pembelian dengan cicilan atau kontrak sejenis lainnya, yang memberi hak kepada pihak penggadaian atau pemberi pinjaman atau penjual untuk menuntut pembayaran seluruh sisa hutang dengan segera jika terjadi  pelanggaran kontrak misalnya gagal melakukan pembayaran cicilan atau utang atau bunga atau pelanggaran terhadap syarat kontrak lainnya. Apabila pihak berhutang gagal memenuhi tuntutan/kewajiban ini maka pada umunya ia akan kehilangan haknya atas barang yang digadaikan atau barang agunan/jaminan atau barang yang akan dibeli tanpa mendapatkan pengembalian cicilan yang sudah dibayar sebelumnya.

Posted in Contract | Leave a Comment »

Kontrak (5) : Syarat Sahnya Perjanjian

Posted by asro on 31 October 2011

Seperti yang dijelaskan pada seri sebelumnya bahwa setiap orang/badan hukum bebas melakukan perjanjian dengan siapapun tentang hal apapun (asas kebebasan berkontrak) dan perjanjian yang dibuat tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya (asas kepastian hukum). Walaupun demikian, sebebas apapun mereka membuat perjanjian tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut sah di mata hukum.  Adapun syarat-syarat tersebut seperti yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320, adalah: (1) Ada kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; (3) Mengenai suatu hal tertentu; dan (4) Suatu sebab yang halal/legal.

Kedua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif  dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan). Sedangkan kedua syarat terakhir disebut dengan syarat objektif dimana apabila dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum (batal dengan sendirinya).

Kesepakatan.  Kesepakatan merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan titik temu dari dua kepentingan yang berlawanan.  Proses ini umumnya diawali dengan pemberitahuan tentang maksud oleh satu pihak  kepada pihak yang lainnya (intent), kemudian pihak lainnya akan membalas dengan mengajukan  penawaran (offer).  Apabila penawaran tersebut disetujui maka pihak yang ditujuh penwaran tersebut akan menerimanya (acceptance).  Proses kesepakatan ini harus dilakukan secara bebas tanpa adanya kekhilafan atau paksaan, ataupun  penipuan (Lihat KUHPerdata Pasal 1321).  Apabila sebaliknya terjadi dimana suatu kesepakatan diberikan secara tidak bebas maka kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjiannya  menjadi dapat dibatalkan (tidak terpenuhi syarat subjektif).

Kecakapan.  Sehubungan dengan syarat kecakapan ini, undang-undang  (KUHPerdata Pasal 1329) beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia oleh undang-undang  dinyatakan tidak cakap (general legal presumption) .  Mengenai ketidakcakapan ini KUHPerdata Pasal 1330 menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,  perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu“. Selanjutnya sesuai KUHPerdata Pasal 330, yang dimaksudkan dengan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan pengertian ini maka apabila seorang yang belum berusia 21 tahun menikah maka ia dinyatakan telah dewasa, begitu juga apabila ia bercerai pada usia belum genap 21 tahun maka ia tetap dinyatakan telah dewasa. Sedangkan yang masuk dalam golongan orang-orang ditempatkan dalam pengampuan sesuai KUHPerdata Pasal 433  adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosannya. Mengenai ketidakcakapan perempuan yang telah kawin dapat dilihat pada KUHPerdata Pasal 108 yang berbunyi ” Sang istri, sekalipun dia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada istrinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si istri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami” dan Pasal 110 yang berbunyi “Istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas”. Akan tetapi berdasar Surat Edaran MA No. 3 tahun 1961 kedua pasal tersebut tidak berlaku lagi. Dengan demikian maka perempuan yang telah kawin tidak lagi masuk dalam kategori orang yang tidak cakap dalam membuat Perjanjian.

Suatu hal tertentu. Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu di sini adalah merupakan objek dari suatu perjanjian atau yang  disebut juga dengan prestasi.  Menurut KUHPerdata Pasal 1332, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian.  Selanjutnya KUHPerdata Pasal 1333 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai objek  berupa  suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Jumlah barang tersebut tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Selain itu, terkait dengan barang yang menjadi objek perjanjian ini, KUHPerdata Pasal 1334 menyatakan bahwa barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu Perjanjian. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk metepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi objek perjanjian itu.

Sebab yang halal. Penjabaran mengenai sebab yang halal dapat dijumpai dalam KUHPerdata Pasal 1337 yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah tidak halal,  jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Posted in Contract | 2 Comments »

Kontrak (4) : Sekali Lagi Tentang Perjanjian, Perikatan dan Kontrak

Posted by asro on 14 October 2011

 Perjanjian, Perikatan dan Kontrak adalah istilah dalam hukum kontrak yang sering membingungkan  dan sulit untuk dibedakan pengertiannya antara satu dan  lainnya.

Perjanjian vs PerikatanPerjanjian sesuai dengan KUHPerdata Pasal 1313 didefinisikan  sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih“. Sedangkan mengenai Perikatan, KUHPerdata tidak secara tegas mendefinisikannya, akan tetapi dalam KUHPerdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa: Perikatan, lahir karena suatu perjanjian  atau karena undang-undang. Dari kedua Pasal ini terlihat bahwa pengertian dari Perjanjian dapat meliputi pengertian dari Perikatan, karena Perikatan dapat lahir dari Perjanjian itu sendiri (Lihat Buku Teknik Perancangan Kontrak Bisnis karangan Ricardo Simanjuntak hal 29).

Sementara itu, Prof Subekti mendefinisikan Perikatan dan Perjanjian sbb: Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak , berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau  dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari kedua definisi ini terlihat bahwa perbedaan yang tegas antara Perikatan dan Perjanjian adalah terletak pada hubungan atau konsekwensi hukumnya. Pada Perikatan, masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya yang sudah sepakat untuk terikat. Seadangkan pada Perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji (Lihat Bukunya Bang Ricardo Simanjuntak di atas). Akan tetapi, apabila kita hubungkan pendapat Prof Subekti ini dengan KUHPerdata Pasal 1233 dimana dinyatakan bahwa perikatan juga lahir dari suatu perjanjian, berarti bahwa Perjanjian di sini harusnya juga memiliki konsekwensi hukum. Jadi dari sini bisa disimpulkan bahwa Perjanjian dapat dibagi dua, yang pertama adalah suatu hubungan yang tidak memiliki konsekwensi hukum dan yang kedua adalah suatu hubungan yang melahirkan perikatan yang memiliki konsekwensi hukum.

Kontrak Adalah Perjanjian Yang Memiliki Konsekwensi Hukum. Sesuai Black’s Law Dictionary, Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.  (Contract : An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a peculiar thing). Dari definisi ini terlihat bahwa Kontrak merupakan  Perjanjian yang menciptakan kewajiban, ini berarti dalam Kontrak ada konsekwensi hukumnya. Dengan kata lain  Kontrak merupakan Perjanjian para pihak yang mempunyai konsekwensi hukum yang mengikat. Apabila Perjanjian menyangkut hubungan baik yang memiliki konsekwensi hukum mapun tidak memiliki konsekwensi hukum, maka pengertian Kontrak tidak seluas Perjanjian, karena hanya menyangkut hubungan yang memiliki konsekwensi hukum saja. Dalam hal ini Kontrak lebih tepat disetarakan dengan Perikatan (Lihat Buku Teknik Perancangan Kontrak Bisnis karangan Ricardo Simanjuntak hal 34 s/d 38). Jadi dapat disimpulkan bahwa Kontrak adalah Perjanjian yang memiliki konsekwensi hukum yang  juga dapat disetarakan/disamakan dengan Perikatan.

MoU dan LoI adalah Perjanjian Yang Tidak Memiliki Konsekwensi Hukum. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa  Kontrak merupakan Perjanjian yang memiliki konsekwensi/kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Umumnya perjanjian jenis ini dilakukan dalam kegiatan-kegiatan bisnis yang berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak. Bilamana salah satu pihak melakukan inkar janji (wan prestasi) maka ia akan dituntut ganti kerugian dari harta kekayaan miliknya. Seperti yang dijelaskan di atas juga bahwa selain berkekuatan hukum, Perjanjian juga bisa dilakukan tanpa adanya konsekwensi hukum. Perjanjian jenis ini umumnya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan non bisnis (keluarga atau sosial). Pada perjanjian jenis ini tidak ada sangsi hukum yang mengikat, yang ada hanyalah sangsi moral. Walaupun Perjanjian tanpa  memiliki konsekwensi hukum ini umumnya untuk kegiatan-kegiatan non bisnis, akan tetapi bisa saja Para Pihak memiliki kemauan (party intention) untuk membuat perjanjian tanpa konsekwensi hukum dalam kegiatan bisnis mereka. Memorandum of  Understanding (MoU) dan  Letter of Intent (LoI)   yang sering kita jumpai dalam kegiatan bisnis adalah merupakan contoh Perjanjian tanpa konsekwensi hukum, walaupun dalam prakteknya terkadang  sengaja disusupi ketentuan-ketentuan yang memiliki konsekwensi hukum.

Memorandum of Understanding (MoU) dalam pengertian idealnya sebenarnya merupakan suatu bentuk Perjanjian atau kesepakatan awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak untuk melangkah kemudian pada penandatanganan suatu Kontrak (Lihat Buku Teknik Perancangan Kontrak Bisnis karangan Ricardo Simanjuntak hal  45).  Jadi bisa dikatakan MoU sebagai kesepakatan Prakontrak, yaitu kesepakatan dimana Para Pihak melakukan pejajakan untuk saling mengenal dalam membangun kesamaan pengertian sebelum masuk kedalam ikatan bisnis secara lebih formal melalui Kontrak. Selain itu, MoU juga terkadang dibuat sebagai wadah untuk bernegosiasi sebelum masuk ke Kontrak sesungguhnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa MoU bukanlah merupakan Kontrak karena memang masih merupakan kegiatan Prakontrak, sehingga di dalamnya sengaja tidak dimasukkan “intention to create legal relation” oleh Para Pihak. Walaupun per-definisi MoU merupakan Perjanjian tanpa konsekwensi hukum, akan tetapi dalam prakteknya terkadang Para Pihak dengan berbagai pertimbangan sengaja memasukan ketentuan konsekwensi hukum dalam sebuah MoU. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain : 1) Untuk menghindari tidak adanya niat baik atau ketidak seriusan salah satu Pihak dalam pelaksanaan Perjanjian Prakontrak seperti misalnya secara sewenang-wenang membatalkan sendiri rencana tanpa alasan yang kuat; 2) Untuk menghindari kerugian baik finansial maupun non finansial yang telah dikeluarkan Para Pihak selama kegiatan Prakontrak; 3) Menjaga kerahasiaan dari data/informasi yang diberikan selama kegiatan Prakontrak. Apabila sebuah MoU sudah mengandung unsur konsekwensi hukum seperti ini, maka walaupun berbentuk MoU namun Perjanjian tersebut sudah merupakan sebuah Kontrak.

Letter of Intent (LoI) secara teori dimaksudkan sebagai kesepakatan yang tidak mempunyai konsekwensi hukum yang mengikat. Dengan kalimat lain LoI ini sering digunakan sebagai langkah awal untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan kontrak. LoI pada dasarnya hanyalah pernyataan keinginan dari satu pihak kepada pihak lain (calon mitra berkontraknya) dimana keinginan tersebut baru akan ditindak lanjuti dalam bentuk penawaran (offer) apabila syarat-syarat yang diajukan bersamaan dengan keinginan tersebut dapat dipenuhi oleh Pihak yang dituju. Jadi LoI bukanlah offer tetapi merupakan pra Offer.  (Lihat Buku Teknik Perancangan Kontrak Bisnis karangan Ricardo Simanjuntak hal  52 – 56).  LoI merupakan pra-Offer yang pada umumnya akan ditindaklanjuti dengan Offer yang biasanya berbentuk Purchase Order (PO) setelah persyaratan-persyaratan yang diajukan bersamaan dengan LoI tersebut disetujui oleh Pihak lainnya. Apabila pihak yang dituju sepakat dengan seluruh ketentuan yang disebut dalam PO maka ia akan menerimanya (Acceptance), dan pada saat itu PO berubah menjadi Kontrak. Akan tetapi dalam prakteknya sering terjadi LoI diperlakukan sebagai PO, dimana di dalam LoI juga berisi perintah-perintah yang setara dengan pemesanan atau dengan mencantumkan ketentuan bahwa dalam hal persyaratan-persyaratan dalam LoI terpenuhi, LoI tersebut dapat dianggap sebagai PO. Dalam hal seperti ini, maka secara hukum LoI tersebut  dapat disamakan dengan PO yang berkekuatan sebagai Offer, dimana apabila pihak yang dituju menerimanya (Acceptance) akan berubah menjadi Kontrak yang mengikat dan harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Perjanjian sama artinya dengan Persetujuan.  Ada satu lagi istilah yang sering dipakai/dijumpai dalam hukum kontrak yaitu  “Persetujuan”. Menurut Prof. Subekti, tidak ada perbedaan pengertian antara “Persetujuan” dan “Perjanjian” karena “Perjanjian” dan “Persetujuan” sama-sama mempunyai pengertian bahwa kedua belah pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama.

Posted in Contract | 1 Comment »

Kontrak : (3) Asas Hukum Kontrak

Posted by asro on 26 September 2011

Terdapat beberapa asas hukum kontrak yang dikenal dalam praktek dan menjadi dasar pembuatan kontrak, yaitu:

  1. Asas Kebebasan Berkontrak. Asas ini terkait dengan sistem Hukum Perjanjian (Buku III KUHPerdata) yang bersifat terbuka dan bebas, yang berarti setiap orang bebas membuat perjanjian sesuai dengan maksud dan keinginannya, sepanjang tidak bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang dinyatakan dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang berbunyi : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu 1) Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Sesuatu hal tertentu; dan 4) Suatu sebab yang legal/halal. Asas ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan (syarat ke-4). Dalam hal ini kedudukan Hukum Perjanjian hanya sebagai hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal Hukum Perjanjian baru berperan apabila hal tersebut tidak diatur dalam Perjanjian. Selain itu, para pihak yang melakukan perjanjian juga dapat menyampingkan pasal-pasal yang ada dalam Hukum Perjanjian bahkan dapat menyimpang dari pasal-pasal  tersebut sejauh tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Selanjutnya KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dikatakan dalam pasal tersebut adalah “Semua perjanjian”, artinya termasuk baik perjanjian yang sudah diatur dalam undang-undang maupun perjanjian yang baru dibuat oleh para pihak yang bentuk dan isinya belum diatur. Jadi terdapat kebebasan untuk membuat perjanjian.
  2. Asas Konsensualisme. Asas ini menganut faham dasar bahwa suatu Perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kesepakatan Para Pihak.  Hal ini sesuai dengan syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata Pasal 1320 seperti dijelaskan diatas, dimana salah satunya adalah kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri,  atau dengan kata lain terdapat  Konsensus dari Para Pihak yang mengikatkan diri.  Lebih lanjut KUHPerdata Pasal 1458 menyebutkan bahwa : Jual beli dianggap telah terjadi seketika setelah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.  Jadi dalam hal ini, menurut asas konsesualisme, perjanjian itu sudah ada dan sah mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian atau disebut juga esensialia perjanjian, tanpa diperlukan lagi adanya formalitas, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.  Yang dimaksud dengan hal-hal pokok atau esensialia perjanjian misalnya dalam hal jual beli telah dicapai kesepakatan mengenai barang dan harga, seperti pada Pasal 1458 KUHPerdata diatas. Atau pada sewa menyewa telah ada kesepakatan mengenai benda dan harga sewa.
  3. Asas Pacta Sunt Servanda.  Asas ini disebut juga dengan asas kepastian hukum, yaitu sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Asas ini berhubungan dengan akibat dari perjanjian itu sendiri, dimana hakim atau pihak lainnya harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh Para Pihak, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang sudah dibuat tersebut.
  4. Asas Itikat Baik.  Asas ini mengacu pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik. Asas ini menyatakan bahwa Para Pihak (kreditur maupun debitur) harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Itikat baik bisa bersifat nisbi yang dilihat dari sikap dan tingka laku yang nyata dari subyek, atau bersifat mutlak dimana penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan dengan ukuran yang obyektif.
  5. Asas Kepribadian. Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini mengacu pada  Pasal 1315 dan Pasal 1350 KUHPerdata.  Pasal 1315 menyatakan bahwa : Pada umumnya sesorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.  Ini berarti bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian adalah untuk dirinya sendiri.  Selanjutnya  Pasal 1350 menyatakan bahwa :  Perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; perjanjian tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam yang ditentukan dalam pasal 1317. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, kecuali seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1317, yang berbunyi : Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu. Siapapun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu. Jadi pasal ini mengatur perjanjian untuk pihak ketiga. Selain itu, pengecualian asas ini juga dinyatakan dalam Pasal 1318 yang berbunyi : Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya. Pasal ini mengatur perjanjian untuk kepentingan diri sendiri, ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak darinya.

Selain itu, sehubungan dengan asas hukum kontrak ini, dalam lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tanggal 17 s/d 19 Desember1985, telah berhasil dirumuskan 8 asas hukum perikatan nasional, yaitu:

  1. Asas kepercayaan,
  2. Asas persamaan hukum,
  3. asas keseimbangan,
  4. asas kepastian hukum,
  5. asas moral,
  6. asas kepatuhan,
  7. Asas kebiasaan, dan
  8. Asas perlindungan.

Posted in Contract | 6 Comments »

Kontrak : (2) Perjanjian vs Perikatan

Posted by asro on 11 May 2011

Seperti yang ditulis dalam seri sebelumnya,  kontrak merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis (perjanjian tertulis). Lalu apa itu perjanjian?  Menurut KUHPerdata Pasal 1313 : Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan demikian berarti suatu perjanjian akan melahirkan suatu perikatan.  Sehubungan dengan hal ini, Prof Subekti menjelaskan bahwa : Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lain, sedang orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan tersebut. Perikatan (yang lahir dari suatu perjanjian) merupakan suatu hubungan hukum,  yang  berarti orang-orang yang mengikatkan diri haknya dijamin oleh hukum/undang-undang, dan apabila tidak dipenuhi maka ia berhak menuntut melalui pengadilan.

Perikatan tidak hanya bersumber dari perjanjian, tetapi juga dari undang-undang, seperti yang dinyatakan dalam KUHPerdata Pasal 1233 yang berbunyi : Perikatan, lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Sementara perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang  sebagai undang-undang  atau undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia  (KUHPerdata Pasal 1352).  Selanjutnya perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia muncul dari perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum (KUHPerdata Pasal 1353).

Meskipun perjanjian merupakan suatu hubungan yang memiliki kekuatan memaksa, akan tetapi dalam prakteknya tidak semua perjanjian memiliki kekuatan memaksa. Ambil saja contoh, misalnya seseorang berjanji kepada sahabatnya untuk mentraktir bakso dan ternyata dia tidak memenuhi janjinya tersebut. Janji seperti ini tidak memiliki hubungan hukum sehingga sahabatnya tersebut tidak bisa memaksa dia untuk memenuhi janjinya tersebut melalui tuntutan di pengadilan. Nah, sehubungan dengan  sifat/kekuatan memaksa ini, perjanjian dapat dikelompokan menjadi: 1) Perjanjian dengan kekuatan hukum sempurna, misalnya perjanjian dengan suatu sanksi apabila tidak dipenuhi; 2) Perjanjian dengan kekuatan hukum tidak sempurna, misalnya perjanjian alami (natuurlijke verbintenis – Pasal 1395 KUHPerdata); dan 3) Perjanjian tanpa kekuatan hukum, misalnya perjanjian keagamaan, perjanjian moral dan perjanjian sosial seperti janji untuk traktir bakso di atas.

Khusus untuk natuurlijke verbintenis, Pasal 1395 KUHPerdata mengatakan bahwa : Terhadap natuurlijke verbintenis yang secara sukarela sudah dipenuhi tidak dapat dituntut kembali. Salah satu contoh natuurlijke verbentenis adalah utang karena perjudian. Mengenai utangnya sendiri memang dianggap ada, tetapi  hak untuk menuntut utang tersebut secara hukum tidak ada (KUHPerdata Pasal 1788). Jadi tergantung pada si berhutang apakah mau memenuhi utang tersebut atau tidak. Selain utang karena judi, contoh natuurlijke verbentenis lainnya adalah pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan dan sisa utang dari seseorang yang pailit setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian.

Sebelum mengakhiri tulisan seri ini, ada beberapa hal yang ingin dijelaskan terkait dengan perjanjian, yaitu :  1) Yang menjadi subyek perjanjian bisa orang (private person) atau badan hukum (artificial person); mereka terdiri dari kreditur yaitu pihak yang berhak atas sesuatu dan debitur yaitu pihak yang berkewajiban memberi/memenuhi sesuatu. 2) Yang menjadi obyek perjanjian adalah sesuatu yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, yang sering disebut sebagai prestasi. Prestasi bisa berupa menyerahkan/memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Posted in Contract | Leave a Comment »