Asro Pun' Blog

Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Kontrak

Posted by asro on 27 April 2012

Sehubungan dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang,  dimana konon  undang-undang tersebut mengharuskan penggunaan mata uang Rupiah di wilayah Republik Indonesia, maka banyak pertanyaan yang muncul terkait penggunaan mata uang asing dalam Kontrak/Perjanjian khususnya jika Kontrak/Perjanian tersebut dilaksanakan dengan mitra asing. Wajar jika muncul banyak pertanyaan karena  adanya kekwatiran akan pelanggaran terhadap undang-undang ini yang  konon ada sangsi hukumnya berupa sangsi  kurungan. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini disampaikan jawaban Hukum Online atas beberapa pertanyaan mengenai keharusan penggunaan mata uang Rupiah terkait adanya undang-undang tersebut.

Pertanyaan : Teman saya menyewa apartemen di Indonesia. Apartemen tersebut memiliki manajemen asing dan bertarif dollar. Sedangkan saat ini telah diberlakukan UU Mata Uang yang mewajibkan pembayaran dengan menggunakan Rupiah. Sewa sudah berjalan selama 2 tahun, dan selama 2 tahun ini teman saya membayar dengan dolar. Jangka waktu sewanya telah disepakati dalam perjanjian adalah 5 tahun. Bagaimana teman saya menyikapinya? Apakah teman saya tetap harus membayar sewa apartemen tersebut dengan Rupiah?

Jawaban : Dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”), pada dasarnya setiap transaksi pembayaran maupun transaksi keuangan apapun yang dilakukan di Wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 23 UU Mata Uang diatur bahwa:  1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.  Mengenai pertanyaan Anda, kita bisa merujuk pada penjelasan yang diberikan Wakil Ketua Komisi XI DPR RIAchsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” (14/7). Dalam kesempatan itu menurut Achsanul Kosasi jika perjanjian sewa-menyewa apartemen tersebut dibuat secara tertulis sebelum berlakunya UU Mata Uang (sebelum 28 Juni 2011), maka biaya sewa apartemen tersebut dapat dilanjutkan pelunasannya menggunakan mata uang asing (dalam hal ini dolar). Jadi, pembayaran atau penyelesaian kewajiban ini termasuk yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Mata Uang.  Namun, jika perjanjian sewa-menyewa apartemen itu dibuat setelah diberlakukannya UU Mata Uang ini, maka pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam perjanjian itu harus menggunakan mata uang Rupiah.   Selain mengatur kewajiban menggunakan Rupiah dalam transaksi di Indonesia, UU Mata Uang juga mengatur sanksi bagi orang yang melanggar kewajiban tersebut. Berikut ketentuan pidana menurut Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang;  “Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:  a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau  c. transaksi keuangan lainnya,  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Pertanyaan : Dengan berlakunya UU Mata Uang yang baru, di situ diwajibkan penggunaan Rupiah untuk segala transaksi keuangan yang terjadi di Indonesia. Bagaimana apabila saya sudah membuat perjanjian yang isinya memuat transaksi dengan menggunakan mata uang asing. Apakah perjanjian tersebut harus direvisi dan disesuaikan dengan tujuan UU tersebut? Apakah diatur dalam aturan peralihannya? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Jawaban : Mengutip ketentuan Pasal 23 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”)1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Mengamati ketentuan dalam pasal tersebut di atas, perjanjian yang telah dibuat secara tertulis sebelum diundangkannya UU Mata Uang dapat diselesaikan/diteruskan pemenuhan transaksinya dengan menggunakan mata uang asing sebagaimana telah diperjanjikan. Perlu digarisbawahi bahwa pengecualian ini hanya berlaku bagi perjanjian yang telah ada dan berjalan sebelum UU Mata Uang ini diundangkan. Sedangkan untuk perjanjian yang dibuat setelah berlakunya UU Mata Uang ini (setelah 28 Juni 2011), maka tidak ada larangan untuk menentukan jumlah transaksi menggunakan mata uang asing dalam perjanjian. Akan tetapi, pemenuhan transaksinya (pembayarannya) harus tetap dilakukan dengan menggunakan Rupiah sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” (14/7).   Seperti diketahui dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang diatur bahwa Rupiah wajib digunakan dalam: a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c) transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian menurut hemat kami perjanjian yang isinya memuat transaksi dengan menggunakan mata uang asing tidak perlu direvisi, asalkan nanti pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Rupiah. Dan UU Mata Uang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut dalam ketentuan peralihannya. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.

Pertanyaan : Selamat Siang Bung Pokrol. Saya ingin tanya terkait dengan UU Mata Uang yang baru. Apakah benar semua transaksi pembayaran sekarang diharuskan menggunakan mata uang Rupiah? Lalu bagaimana bila suatu PT yang memiliki penghasilan dalam bentuk valas, kemudian pemegang sahamnya ingin menjual ke pihak lain di Indonesia, apakah sahamnya harus dihargai dengan Rupiah?

Jawaban : Melihat pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPT bahwa nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah. Akan tetapi UUPT ini tidak mengatur apakah bila saham tersebut diperjualbelikan, transaksinya harus menggunakan Rupiah atau tidak.   Akan tetapi, sejak 28 Juni 2011 ada aturan yang secara umum mewajibkan semua transaksi yang dilakukan di Indonesia dan mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan transaksi keuangan lainnya untuk menggunakan Rupiah (lihat Pasal 21 ayat (1) UU No 7 Tahun 2011 tenatng Mata Uang – “UU Mata Uang”). Dengan demikian jika PT yang Anda sebutkan itu berada di Indonesia baik PT lokal maupun PT Penanaman Modal Asing (“PT PMA”), maka segala transaksi keuangannya harus menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang ini. Kecuali transaksi yang terjadi termasuk hal-hal yang dikecualikan di bawah ini, boleh menggunakan mata uang asing/valuta asing : a) transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran dan belanja negara; b) penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c) transaksi perdagangan internasional; d) simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau e) transaksi pembiayaan internasional. (lihat Pasal 21 ayat (2) UU Mata Uang).   Dengan demikian, terkait dengan transaksi jual beli saham yang Anda tanyakan, meskipun harga/nilai saham dicantumkan dalam dolar, transaksi jual belinya tetap harus dilakukan dengan menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang yang baru.   Sementara itu, menurut notaris Irma Devita Purnamasari dalam praktik PT PMA yang sebagian pemegang sahamnya asing, biasanya selain dalam Rupiah, nilai sahamnya juga ada ekuivalen dolarnya. Jadi, kalau ada transaksi penjualan saham asing dengan dolar, tetap ada ekuivalen Rupiahnya. Dengan demikian, misalnya dijual seharga USD 3 juta, maka kita harus cari ekuivalen Rupiahnya berapa, misalnya Rp. 25 miliar dengan nilai USd 1 = Rp. 8.623,-. Pihak asing terimanya tetap di Rp. 25 miliar. Karena di PT PMA memang harus ada ekuivalen antara dolar dan Rupiahnya. Sehubungan dengan kewajiban transaksi menggunakan Rupiah, maka jual-beli saham PT PMA juga harus dinyatakan dan diterima dalam Rupiah. Kemudian, setelah terjadi transaksi pihak yang menjual saham tersebut dapat mengkonversi uang hasil penjualan saham tersebut ke dolar.  Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Pertanyaan : Saya bekerja di Pelabuhan Indonesia yang juga memberi pelayanan terhadap kapal-kapal asing. Terhadap pelayanan jasa yang diberikan kami kenakan tarif dengan nilai dolar (USD). Setelah berlakunya UU No. 7 Tahun2011 tentang Mata Uang, apakah kami masih dapat mengenakan tarif USD terhadap kapal-kapal asing yang menggunakan jasa kami?  Apabila kami masih dapat membuat kontrak dengan perusahaan pelayaran asing tersebut dengan nilai transaksi dalam USD?

Jawab : Sejak berlakunya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) pada 28 Juni 2011, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, maka mata uang Rupiah wajib digunakan di Wilayah Republik Indonesia dalam : a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan atau c) transaksi keuangan lainnya, yaitu antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari Nasabah kepada Bank. Namun harus dipahami juga bahwa kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia tersebut dikecualikan oleh Pasal 21 ayat (2) UU Mata Uang, yaitu dalam hal : a) transaksi adalah transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); b) penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c) transaksi perdagangan internasional; d) simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau e) transaksi pembiayaan internasional. Mencermati syarat transaksi perdagangan internasional yang mengecualikan penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia, tentu menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan “perdagangan internasiona”? Dalam hal ini, sangat disayangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang hanya menyatakan “cukup jelas”. Mengenai arti dari “perdagangan internasional”, Sumantoro di dalam “Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan Internasional” (Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman RI, 1997/1998, hlm. 29) tegas mendefinisikan sebagai “the exchange of goods and services between nations”, sehingga jelas sudah bahwa perdagangan jasa (i.c. jasa-jasa pelabuhan yang diselenggarakan oleh Perusahaan Saudara) adalah suatu transaksi perdagangan internasional jika para pihaknya berbeda nasionalitasnya. Dan dalam hal ini pula, UU Mata Uang sama sekali tidak menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “perdagangan internasional” adalah hanya perdagangan barang internasional (international trade on goods).  Merujuk pada tidak terdapatnya pembatasan oleh UU Mata Uang dan pendapat Sumantoro di atas, maka demikian transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Pengusaha kapal berbendera asing (yang merupakan Perusahaan Asing) adalah merupakan perdagangan jasa yang bersifat intenasional (dikualifikasikan sebagai suatu “perdagangan internasional”), sehingga pembayaran harga pembelian jasanya dapat diperjanjikan dan dilaksanakan dalam mata uang selain Rupiah, baik dalam mata uang Dolar Amerika Serikat (United States Dollar) ataupun mata uang asing lainnya yang sah, sesuai Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang. Namun, apabila transaksi yang dilakukan adalah transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Perusahaan kapal berbendera Indonesia (yang merupakan Perusahaan Indonesia), maka perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya wajib menggunakan mata uang Rupiah sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a UU Mata Uang.  Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan yang bertanggung jawab dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta (videPasal 33 ayat (1) UU Mata Uang), maupun, Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp. 200 juta (vide Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang).  Berkaitan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Mata Uang, apabila perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya telah atau kemudian disepakati menggunakan mata uang Rupiah (termasuk dengan Pengusaha kapal berbendera asing),  maka Perusahaan Saudara wajib menerima pembayaran dalam mata uang Rupiah yang telah disepakati tersebut. Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara yang bertanggung jawab juga dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200 juta (videPasal 33 ayat (2) UU Mata Uang), maupun, perusahaan Saudara dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp. 200 juta (videPasal 39 ayat (1) UU Mata Uang). Tapi, di dalam Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang diatur pengecualian terhadap kewajiban tersebut yaitu bahwa perusahaan Saudara berhak untuk menolak pembayaran dalam Rupiah dan tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 33 ayat (2)dan Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang, jika Perusahaan Saudara meragukan keaslian dari mata uang Rupiah tersebut.   Last but not least, dalam hal ini pula, tentu adalah baik dan berguna jika Perusahaan Saudara dapat menetapkan (atau menyepakati dengan para pengguna jasa) untuk digunakannya suatu perhitungan kurs tertentu (baku) bagi konversi antar-mata uang bagi keperluan pelaksanaan pembayaran dalam mata uang Rupiah (misalnya, Kurs Tengah BI yang ditetapkan Bank Indonesia, atau Kurs Tengah Pajak yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan RI).  Demikian jawaban ini Saya sampaikan. Semoga bermanfaat.

Dari jawaban-jawaban di atas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Apabila kontrak dibuat sebelum diberlakukannya UU Mata Uang (sebelum tanggal 28 Juni 2011), maka mata uang yang digunakan untuk  transaksi/pembayaran terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut tetap mengikuti apa yang sudah diatur dalam kontrak tersebut. Jadi apabila nilai kontrak menggunakan mata uang Rupiah maka transaksi pembayarannya menggunakan Rupiah, sedangkan apabila nilai kontrak menggunakan mata uang asing  maka transaksi pembayarannya menggunakan mata uang asing (Ref UU Mata Uang Pasal 23 ayat (2)).
  2. Apabila kontrak dibuat setelah tanggal 28 Juni 2011 dengan perusahaan dalam negeri, maka nilai kontraknya bisa Rupiah, bisa juga mata uang asing  (Refer pendapat Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi dalam Seminar Hukumonline berjudul “Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia” 14 Juli 2011, lihat juga  jawaban atas pertanyaan No 1 di atas), tetapi transaksi pembayarannya harus dalam Rupiah (Ref UU Mata Uang Pasal 21 ayat (1)).  
  3. Apabila kontrak dibuat setelah tanggal 28 Juni 2011 dengan perusahaan asing, maka nilai kontraknya bisa Rupiah, bisa juga mata uang asing dan pembayarannya juga bisa dengan menggunakan Rupiah atau mata uang asing (Ref UU Mata Uang Pasal 21 ayat (2) huruf c), karena kontrak ini masuk dalam kategori perdagangan internasional yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan mata uang Rupiah Pasal 21 ayat (1)).

Terlepas dari semua penjelasan ini, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof  Hikmahanto Juwana seperti yang ditulis dalam Hukum Online, mengacu pada UU Mata Uang Pasal 47, dapat diartikan bahwa peraturan ini (UU Mata Uang) belum berlaku, karena pasal itu mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksana yang harus ada maksimal setahun setelah diundangkan, atau 28 Juni 2012 dan hingga saat ini peraturan pelaksananya belum ada.

Selain itu, menanggapi maraknya kekwatiran banyak pihak, pejabat di Direktorat Pengelolaan Kas Negara Direktorat Jendral Perbendaharaan seperti yang dikutip Hukum Online,  menegaskan  sikap resmi pemerintah terkait dengan UU Mata Uang adalah bahwa yang diatur dalam UU Mata Uang  adalah transaksi tunai (uang kartal). Penjelasan ini berarti bahwa penggunaan mata uang asing di kontrak tidak dilarang, tetapi saat transaksi pembayarannya secara tunai harus menggunakan Rupiah, apabila transaksi kontraknya antar mitra lokal/dalam negeri dan dilakukan di wilayah RI.

One Response to “Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Kontrak”

  1. yuli said

    Saya mau bertanya bagaimana PMA yang ada di indonesia untuk melakukan pembelian dan pembayaran dengan perusahan lokal, apakah harus menggunakan mata uang Rupiah atau bisa dengan mata uang asing… terimakasih

Leave a comment